Sabtu, 22 September 2012

A Gentleman's Dignity - Suatu Cermin Diri -

A gentleman's dignity, film korea yang baru - baru ini aku tonton.
Dibilang tergila - gila pada hal - hal yang berbau korea, demam K-POP dan sejenisnya sebenarnya tidak juga sih. Hanya untuk mengisi waktu saja nonton beginian. Mumpung belum ada tugas - tugas dari dosen tercintah :D
Menonton film ini membuatku "menjerit - jerit". Bukan cuma karena Do Jin oppa yang cakep itu, tapi juga jalan cerita serta ekspresi tokohnya yang bikin "greget". Beberapa hal yang ada di film ini membuatku tersenyum. Karena sedikit banyak ada yang membuatku teringat pada diri sendiri.

Di dalam film ini, kalau kamu putus cinta atau sedang merasa patah hati, berolahragalah :) Hal yang sama juga aku lakukan. Bedanya, cowo - cowo cakep itu suka baseball dan Se Ra suka golf sementara aku suka renang. Entah kenapa dengan renang bolak balik berkali - kali membuatku tenang. Menghabiskan energi di kolam renang itu jauh lebih baik daripada marah - marah nggak jelas di kamar. Justru karena energi sudah habis terkuras di kolam itulah maka aku merasa tenang. Karena semua kemarahan sudah tersalurkan. Apa pun itu. Sedih, marah, kesepian, kecewa, atau tiap merasa ingin menangis, lebih baik berenang. Capek memang tapi membuat pikiran kita beralih. Tidak melulu sedih, marah atau memikirkan masalah itu. Efeknya, sudah pasti. Pulang dari berenang biasanya langsung "tepar" tertidur pulas di tempat tidur. Meskipun capek, tetapi puas rasanya. Berenang itu paling enak sore hari. Mendekati malam. Pulang berenang, makan malam, kemudian tertidur pulas. Biasanya, paginya akan merasa jauh lebih baik :) 

Kemudian ada kisah cinta beda usia yang terpaut jauh. Hmm... bagiku Mi A Ri sudah cukup matang sih sebagai seorang wanita. Secara umurnya 24 tahun. Cuma selisih 1 tahun dariku. Tapi tetap saja kalau dia suka sama Yun yang usianya 40-an maka akan terlihat "anak kecil" banget. Terlalu kekanakan. Itulah kesannya. Yang membuatku teringat pada diri sendiri adalah saat Tae San berjuang mati - matian melindungi adiknya (Mi A Ri) supaya tidak pacaran dengan Yun. Bagaimana pun dia seorang kakak. Aku mengerti bagaimana perasaannya. Melihat adik kita tumbuh besar, dari mulai baru lahir sampai sekarang. Melihat bagaimana perkembangannya. Melihat kelebihan dan kekurangannya. Sebagai seorang kakak, adalah wajar ketika ingin "melindungi" adiknya. Meskipun Yun juga sahabatnya sendiri :( Tapi tetap, kita ingin mengusahakan yang terbaik bagi adik kita.

Se Ra yang belum ingin menikah dan Tae San yang ingin membahagiakan orang tuanya dengan pernikahan merupakan konflik yang "ruwet". Bagaimana sebuah hubungan dapat terjalin dengan mulus kalau masing - masing sudah mempunyai "tujuan" yang berbeda? Ya, banyak pertengkaran disini. Bagiku, pertengkaran itu hal yang biasa. Semakin hebat pertengkaran, semakin saling gengsi-lah untuk meminta maaf. Benci tapi rindu. Tapi entah kenapa meskipun terus menerus bertengkar, tetap saja balik lagi balik lagi dengan orang itu. Saling mengkhawatirkan meskipun tidak bertukar kabar. Saling menatap handphone meskipun tidak ada yang mau mengalah menghubungi satu sama lain. Suatu bentuk pertengkaran "benci tapi rindu".

Do Jin dan I Su mungkin yang paling berat menghadapi permasalahan. Ketika muncul seorang anak berumur 19 tahun yang ternyata adalah anak Do Jin. Meskipun aku tidak menghadapi permasalahan yang sama, tetapi pernah juga mengalami "kekagetan" yang dialami I Su. Bagaimana tidak, kita yang tidak tau apa - apa tiba - tiba harus menghadapi masalah pasangan kita. Pemberitahuan secara "mendadak" itu justru lebih membuat syok. Lalu meninggalkan pasangan karena masalahnya tersebut? Nah untuk hal ini aku dan I Su mungkin punya pemikiran yang sama. Itu adalah hal yang picik. Hadapilah bersama - sama, cuma itu pesanku. Berat sih, tapi bukan berarti tidak akan selesai kan? Bagiku semua ada waktunya. Ada saatnya kita di atas, ada saatnya kita di bawah. Masalah yang dia alami bukan tidak mungkin akan terjadi pada kita juga suatu saat. Dan apakah kamu mau ditinggalkan saat sedang berada dalam masalah atau posisi sulit?

Banyak sekali cerita yang bisa dijadikan pelajaran hidup. Tergantung bagaimana kita melihatnya. Aku melihat suatu cerita di dalam kehidupan ini tidak hanya dialami olehku. Ada beberapa orang yang mengalami kisah serupa di luar sana (entah dimana). Jadi, kalau mereka bisa melaluinya, kenapa aku tidak?

inne_chan  

Rabu, 12 September 2012

Musim Nikah -ABCDE-

Musim nikah! Normalkah aku menyebutnya demikian?
Banyak sekali orang yang menikah tahun ini. Terutama orang - orang yang berada di sekelilingku. Orang - orang yang kukenal. Karena itu aku menyebutnya musim nikah. Bermacam - macam cerita yang kudapat dari orang - orang yang akan atau sudah menikah itu. Mulai dari yang bingung menentukan tanggal, sibuk memesan ini itu, membuat kebaya dan sebagainya. Ada pula yang sibuk menghitung pundi - pundi uang yang dipunyainya. Cukup atau tidak untuk menyelenggarakan suatu pernikahan dengan konsep tertentu. Yah, macam - macam lah. Sedikit akan aku bagi disini :)

Si A, salah seorang temanku, berkeluh kesah tentang undangan, souvenir, dan makanan untuk hari pernikahan kakaknya. Super sibuk dengan telepon dari berbagai orang. Mulai dari desainer, toko ini, toko itu, dan orang rumahnya. Usut punya usut, dia memang sudah menyanggupi menjadi WO di nikahan kakaknya ini. Maka, selama 3 bulan menjelang hari H, berpusing - pusinglah dia dengan segala macam tetek bengek pernikahan. Dia bahkan lebih repot dibandingkan calon mempelainya sendiri. Semuanya harus "siap" pada waktunya. Sesuai jadwal. Justru karena ini nikahan orang lain, jadi semuanya harus "pas". Tidak boleh mengecewakan!

Si B, teman yang baru saja melangsungkan pernikahannya. Kami bertemu tak lama setelah pernikahannya. Dia menceritakan betapa pusingnya mengurusi pernikahan. Terutama budgeting. Semuanya harus dipikirkan dengan benar. Mana yang "perlu" dan mana yang "tidak perlu" harus dipilih dengan serius. Tetapi, meskipun sudah berhati - hati, tetap saja kebutuhan "membengkak" sehingga dia harus merogoh kocek, atau menggesek atmnya lebih sering lagi (haha...). Setelah sibuk dengan hari H, maka tiba saatnya dia melihat uang di tabungannya. Dan apalah daya, memang terkuras habis. Wow... memang, pernikahan membutuhkan banyak biaya. Pesannya "setidaknya, kamu harus punya uang minimal sejumlah XXX untuk modal nikah, ne."
brrrr... baiklaaah....akan saya pikirkan dengan "matang" saran dari anda, Sir :)

Si C, teman yang sibuk menghadiri kondangan. Entah apa namanya. Miss Kondangan juga tepat sepertinya. Karena dia sangat suka menerima undangan dan hadir di kondangan. Bahkan untuk nikahannya sendiri pun belum terpikir. Tetapi yang terpikir justru selalu "baju mana ya yang harus aku pakai untuk kondangan minggu ini?" Memesan dan menjahit baju menjadi kebutuhannya. Apalagi dengan nikahan orang - orang dekat, dia akan menyesuaikan warna baju dengan konsep undangan. Misalnya pengantin memakai baju ungu, maka dia juga akan menjahit baju warna ungu. Sibuk menghadiri kondangan dari teman - teman adalah pengisi waktu luang-nya di saat weekend. Yah, itu lebih baik daripada shopping di mall :p

Si D, orang yang nikah tanpa modal. Kenapa aku bilang tanpa modal? Karena memang dua - duanya, dia dan calon suaminya tidak memiliki modal sepeser pun yang harus dikeluarkan. "Serahkan saja semua sama ortu kita" itu kata - katanya. Semua modal bersumber dari ortu masing - masing. Maka, jadilah mereka pasangan yang harus menurut pada orang tua. Konsep pernikahan, undangan, siapa saja yang diundang, berapa banyak yang diundang, semuanya yang mengatur adalah mami-nya. "Terserah saja deh" itu kata - kata jitu yang dikeluarkan saat dimintai pendapat. Karena toh apa yang ditanyakan mami-nya sebenarnya tidak butuh jawaban. hanya butuh "persetujuan" darinya. Jadi, ketika pesta pernikahan berlangsung, yang tersenyum bahagia adalah mami-nya :D

Si E, selalu bersitegang dengan keluarganya. Terutama saat menjelang hari H pernikahannya. Dia ingin seperti ini, keluarganya ingin seperti itu. Entah sudah berapa kali terjadi adegan banting pintu di rumahnya. Adegan sama - sama tidak mau bicara juga sering terjadi. Tidak mau mengalah dan tetap memaksakan kehendak adalah cerita si E dan mama-nya. Terakhir, entah sudah berapa kali dia bolak balik ke tukang undangan. Mulai dari desain-nya yang tidak sesuai dengan keinginan mama-nya, sampai penambahan jumlah undangan. H-seminggu, mamanya ingin menambah lagi jumlah undangan. Sungguh masalah undangan ini merepotkan bukan saja untuk si E, tetapi juga untuk tukang pembuatnya. "Ingin teriak saja rasanya" begitu keluhnya :(

Mungkin masih banyak lagi kisah si F, si G, si H dan seterusnya dan seterusnya. Semakin aku berpikir, menikah itu sungguh repot dan banyak yang harus dipersiapkan. So,dipikir - pikir dulu aja deh sepertinya :s

inne_chan